Monday, January 27, 2020

NAMA : ANGKY TRI SAPUTRA
NPM : 119020004


A.Pengertian sintren
Sintren adalah sebuah seni pertunjukan tradisional di wilayah Banyumas yang hingga sekarang masih bertahan di tengah arus kesenian modern. Pada dasarnya, kesenian tradisional ini tidak hanya hidup di Banyumas, tetapi juga di daerah yang masuk dalam area pesisir, diantaranya cirebon, pekalongan, Brebes, dan Ciamis. Untuk mendetailkan pembahasan, maka perkembangan sintren hanya difokuskan pada masyarakat Banyumas yang tinggal di Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat yang termasuk dalam masyarakat daerah batas/ frontier. Hipotesis frontier pertama kali diperkenalkan oleh Frederick Jackson Turner pada 1893 dalam tulisannya “The Significance of the Frontier in American History” yang menyebutkan bahwa perpindahan penduduk dari daerah Eropa ke pedalaman Amerika, menimbulkan daerah baru, yang kemudian daerah ini disebut daerah “frontier”. Seorang penulis lain, W.J. Eccles mengartikan “frontier” dalam tiga pengertian yang berbeda, yaitu frontier dari bagian geografi (secara wilayah), frontier dihubungkan dengan proses adaptasi masyarakat, dan frontier karena kondisi pada sesuatu daerah. (Muhammad Gade Ismail, 1991: 11) Edmund Leach, peneliti Amerika Serikat yang melakukan penelitian tentang Birma, menyebut Birma sebagai “frontier” berdasarkan letak geografis daerah itu dan juga proses adaptasi terhadap pengaruh kebudayaan Cina dan India. (Muhammad Gade Ismail, 1991: 12).

B. Sejarah Awal Hubungan orang Sunda dan Orang Jawa di Banyumas
Sejarah Banyumas ditelusuri dengan menggunakan Babad Pasirluhur dan Babad Banyumas. Babad Pasirluhur dikenal oleh masyarakat di wilayah Banyumas hanya melalui dongeng lisan Kamandaka yang didasarkan pada buku Cariyos Kamandaka.  Kadang babad itu juga dikenal melalui versi folklore sastrawan rakyat seperti Layang Raden Kamandaka iya Lutung Kasarung karya Ki S. Wagino asal Banyumas. Seluruh versi cerita Kamandaka menunjukkan asal-usul nama desa yang dipercaya bersal dari peristiwa yang dialami oleh Kamandaka di daerah tersebut. Nama-nama ini tersebar mulai dari daerah bagian barat Kabupaten Banyumas hingga daerah Goa Jatijajar Kabupaten Kebumen.
Babad Pasirluhur menjadi sumber legalitas para elit di sepanjang sejarah pemerintahan wilayah barat daya Jawa bagian tengah, yang kini bernama Banyumas, dan bagian timur Jawa barat. Babad ini menceritakan kisah dari zaman Kerajaan Pakuan Parahiyangan (Pajajaran) di Jawa Barat bagian Timur sejak pemerintahan Sri Prabu Linggawesi Dewa Niskala (1466-1474), Sri Prabu Linggawastu Ratu Putana Jaya Dewata (1474-1513). Sri Prabu Linggawastu memiliki empat putera yaitu Raden Harya Banyak Catra, Raden Harya Banyak Blabur, Raden Harya Banyak Ngampar, dan Dewi Retna Pamekas. Singkatnya, keempat orang inilah yang kemudian melahirkan orang Banyumas (pada masa Hindu bernama Kadipaten Pasirluhur, kemudian pada masa Islam bernama Kadipaten Pasirbatang). Babad Banyumas menceritakan sejarah wilayah Banyumas bagian timur yang terkait hubungan trah dengan Kerajaan Pajajaran-Majapahit II (1429-1522) melalui garis trah Adipati Wirautama I masa Kadipaten Wirasaba I (zaman Hindu) maupun trah Adipati Wargahutana I (Raden Jaka Kaiman, keturunan trah Pangeran Senapati Mangkubumi II, Pasirbatang) pada masa Kadipaten Wirasaba II. Pada masa kadipaten Wirasaba II inilah wilayah Banyumas dibagi menjadi empat kadipaten, yaitu Kejawar/ Banyumas, Wirasaba/ Purbalingga, Banjar Petambakan / Banjarnegara, dan Merden / Cilacap. (Boediono Herusatoto, 2008: 31-49).
Dari catatan babad-babad tersebut, tersirat bahwa Wong Banyumasan adalah pembauran antara kerajaan dan kadipaten yang memiliki unsur budaya berbeda, yaitu kerajaan Pakuan Parahiyangan (Pajajaran) dengan budaya Sundanya dan Kadipaten pasir luhur (Galuh) dengan budaya jawadwipanya dan akhirnya membangun suatu komunitas baru yang terus berkesinambungan dalam sejarah dan kehidupan sosial budaya yang khas sebagai komunitas perbatasan dari suku Jawa dan Sunda. Bahkan, di Kabupaten Cilacap, khususnya wilayah Kecamatan Majenang dan Kecamatan Patimuan, mayoritas penduduknya menggunakan bahasa Sunda Ngoko yang dicampur dengan bahasa Jawa Banyumasan.

https://galihbazhari.blogspot.com/2017/04/makalah-kesenian-sintren.html



C. Sejarah Sintren

Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya, tradisi yang muncul berasal dari kepercayaan terhadap nenek moyang atau bisa juga bermula dari kebiasaan dan permainan rakyat yang kemudian menjadi budaya warisan luhur. Salah satu tradisi rakyat yang kemudian menjadi warisan budaya luhur ialah sintren. Kesenian sintren terdapat di sepanjang pesisir utara Jawa Tengah, yaitu di wilayah Cilacap, Brebes, Pekalongan dan Jawa Barat bagian timur, yaitu Cirebon, Ciamis, dan Indramayu. Terdapat beberapa pendapat tentang asal mula sintren, tetapi ada satu cerita yang beredar di masyarakat tentang awal mula kesenian ini, yaitu legenda Sulasih dan Sulandono.
Sulandono adalah putra Bupati dari Mataram bernama Bahurekso dengan Rr. Ramtamsari, Sulasih adalah seorang gadis desa. Mereka berdua bertemu dan kemudian terlibatlah dalam hubungan percintaan. Hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua Sulandono. Sulandono kemudian diperintah ibunya untuk bertapa dan diberikan selembar kain sebagai sarana kelak untuk bertemu Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih kemudian menjadi seorang penari pada setiap acara bersih desa yang diadakan, sebagai syarat bertemu Sulandono. Tepat pada saat bulan purnama, diadakan acara bersih desa, pada saat itulah Sulasih menari, Sulandono yang mengetahui hal ini kemudian meninggalkan pertapaannya secara diam-diam untuk bertemu dengan Sulasih dengan membawa kain yang diberikan oleh ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit dari Rr. Ramtamsari sehingga mengalami kesurupan dan saat itu pula Sulandono melemparkan kain tersebut sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih kemasukan roh inilah yang disebut dengan “sintren” dan pada saat Sulandono melemparkan kain disebut dengan “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki Sulandono, maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan mereka berdua dapat mewujudkan cita-cita dan cinta mereka. Kondisi Sulasih yang masih perawan, kemungkinan yang menjadi dasar utama mengapa seorang penari sintren harus perawan.
Berbeda dengan legenda tersebut, ada suatu cerita logis yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Cirebon, Dr. H. Wahyo, M. Pd., menceritakan asal mula lahinya sintren merupakan kebiasaan masyarakat nelayan untuk menghilangkan kebosanan sembari menunggu kedatangan ayah mereka dari melaut. Namun, siapa yang menciptakan dan kapan pertama kali diciptakan tidaklah diketahui secara pasti. Pertunjukkan ini kemudian berkembang di tempat-tempat lainnya yang memiliki kesamaan ekologi, yaitu masyarakat pesisir pantai utara.

https://galihbazhari.blogspot.com/2017/04/makalah-kesenian-sintren.html


D. Sintren Jawa dan Sintren Sunda
Sintren merupakan salah satu kesenian rakyat. Ini terindikasi dari beberapa hal, pertama, kesenian ini milik masyarakat pedesaan secara kolektif, meskipun ada tokoh pembina, namun yang memiliki adalah masyarakat. Kedua ciri kesederhanaan masih menonjol dalam setiap pertunjukkan. Ketiga, ada unsur religi atau ghaib di dalamnya. (Djoko Suryo, R.M. Soedarsono, Djoko Soekiman, 1985: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Sintren yang ada di wilayah Jawa Tengah bisa ditelusur asal-usulnya dari Cirebon (Jawa Barat). Kesenian ini sempat berkibar pada tahun 1950 hingga 1963, setelah itu sintren sempat menghilang dan muncul kembali tahun 1990-an. Penyebaran sintren tidak lepas dari kontak antar masyarakat nelayan. Sintren yang berasal dari Cirebon, kemudian dibawa ke wilayah pantai utara lainnya oleh masyarakat Cirebon yang mengadu nasib sebagai seniman. Unsur-unsur masyarakat yang sama, bahasa yang bisa dipahami, dan ketertarikan masyarakat kepada kesenian ini, mempermudan Perkembangan selanjutnya, sintren berkembang di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Cirebon, yaitu daerah Cilacap, Brebes, dan Pekalongan. (Boediono Herusatoto, 2008: 207)
Wilayah yang berdekatan antara daerah Banyumas bagian barat dengan Kabupaten Jawa Barat, memang menjadi alasan yang tepat untuk terjadinya transfer kebudayaan di antara dua daerah ini. Wilayah Cilacap, Pekalongan, dan Brebes dengan budaya Jawanya yang berkarakteristik lembut bertemu dengan budaya Sunda yang berkarakter keras, maka jadilah suatu kesenian rakyat Sintren yang berkembang dan memiliki karakter kedua budaya tersebut.
Pertunjukkan sintren biasanya diadakan ketika malam bulan purnama pada musim kemarau. Pertunjukkan diawali dengan tabuhan gamelan untuk mengundang para penonton, kemudian diikuti dengan Dupan, yaitu membakar kemenyan oleh sang dukun pawang dengan tujuan memohon perlindungan kepada sang Ghaib. Sebelum pertunjukkan dimulai, ada beberapa tahap yang dilakukan, tahap pertama, dukun mengikat wanita yang akan dijadikan sintren dengan tali. Tahap kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam kurungan besar yang didalamnya terdapat busana dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, dan sintren telah berdandan, tetapi tangan masih terikat tali, kurungan pun ditutup kembali.
Tahap ketiga, kurungan bergoyang yang menandakan sintren telah bisa ditampilkan, kurungan dibuka, sintren telah lepas dari ikatan dan siap untuk menari. Selama pertunjukkan, kemenyan terus dinyalakan oleh sang dukun. Di tengah pertunjukkan, ada balangan dan temohan. Balangan yaitu ketika dari arah penonton ada yang melempar sesuatu kepada sintren, yang menyebabkan sintren terjatuh pingsan.
Dengan menggunakan mantra dan kemenyan, sang dukun memanggil kembali arwah (disebut bidadari) untuk masuk ke dalam raga penari sintren. Pertunjukkan kemudian dilanjutkan dengan temohan, yaitu sintren membawa wadah (tampah/nampan) dan berkeliling ke penonton meminta tanda terima kasih. Untuk lebih menyemarakkan pertunjukkan, muncullah seorang penari lelaki yang disebut dengan bodor (pelawak). Pertunjukkan berlangsung selama dua jam, biasanya dimulai pada pukul 8 malam. Pertunjukkan berakhir dengan memasukkan kembali sintren ke dalam kurungan, beberapa saat kemudian kurungan dibuka, dan sang penari telah berpakaian seperti semula.
Gerak tari sintren memang tidak selembut tari serimpi (diciptakan oleh kraton Jawa) dan tidak sekeras dan setegas tari jaipongan (Jawa Barat), tari ini memiliki gerak yang lebih tegas dari tari-tari Jawa, namun lebih lembut dari tari Jawa Baratan. Gerak tari sintren ini memiliki ciri khas kebudayaan masyarakat pesisir perbatasan yang memiliki sifat “tengah-tengah”, tidak nJawani tidak pula nyundani. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun berbeda antara daerah satu dengan lainnya, di Cirebon, yang dinyanyikan dalam pertunjukkan ini adalah lagu Sunda, sedangkan di daerah pesisir Jawa Tengah (Cilacap, Pekalongan, dan Brebes) lagu-lagunya ialah lagu dolanan Jawa, seperti Ilir-ilir, cublak-cublak suweng, padang rembulan, unthuluwuk, pring reketek. Namun, lagu-lagu sunda juga tetap dilantunkan dalam pertunjukkan sintren Jawa, antara lain Cing Cangkeling, Pacublek-cublek uang, Slep dur, dan Pacici-cici Putri. (Boediono Herusatoto, 2008: 210)

https://galihbazhari.blogspot.com/2017/04/makalah-kesenian-sintren.html


E. Sintren dan Modernisasi
Menurut Jujun S. Suriasumantri, modernisasi adalah proses pembaruan masyarakat tradisional (konvensional) menuju masyarakat yang lebih maju dengan mengacu kepada nilai-nilai yang lebih universal tersebut. Modernisasi sebagai upaya pembaharuan dalam kehidupan suatu bangsa biasanya tumbuh sebagai akibat dari dua penyebab, pertama, perubahan tentang hidup dan kehidupan sebagai akibat peningkatan kecerdasan, kedua, keterikatan dan ketergantungan umat manusia secara universal, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Modernisasi pada hakikatnya merupakan serangkaian perubahan nilai-nilai dasar yang berupa nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai politik dan nilai agama. (Daeng, Hans. J, 2000: 48)
Modernisasi telah membuka akses lebar terhadap terjadinya difusi antara budaya asli (inti) dengan budaya yang baru datang (sekunder). Sintren, sebagai suatu kesenian rakyat, juga mengalami perubahan untuk mempertahankan eksistensinya dalam persaingan di dunia hiburan rakyat. Namun, ciri kesederhanaan dari seni pertunjukkan rakyat sampai sekarang tetap menonjol. Bila terjadi sotisfikasi (kecanggihan), bukan pada garapannya, tetapi hanya pada citra lahiriahnya saja. Demikian pula dengan pertunjukkan sintren, perubahan tidak terjadi pada ritual dan kemagisannya, dalam hal ini ritual dupa, kurungan, balongan, kerasukan arwah. Perubahan terjadi pada sisi busana, lagu-lagu, alat musik, dan tempat yang digunakan. Busana yang digunakan, jika dahulu adalah kebaya (pakaian khas wanita jaman dahulu), maka busana sekarang adalah busana golek (baju tanpa lengan yang biasanya digunakan oleh penari golek).
Lagu-lagu yang dilantunkan dan alat musik juga mengalami perubahan. Untuk menarik penonton, maka lagu-lagu yang dinyanyikan di awal pertunjukkan, seringkali menggunakan lagu-lagu dangdut maupun campursari yang sedang in pada saat itu. Namun ketika sintren akan memulai berdandan dan pertunjukkan akan dimulai, lagu “turun sintren” menjadi lagu wajib. Lagu ini dimaksudkan untuk mengundang arwah yang akan merasuki tubuh penari. Alat musik dan perlengkapan sound system juga telah menggunakan alat-alat modern sebagai penyemarak, seperti penggunaan gitar, suling, gendang, dan penggunaan microphone oleh sinden.
Tempat yang digunakan saat ini, tidak seperti jaman dulu yang di tempat terbuka di atas tanah bertikar mendhong (batang rumput rawa), dikelilingi lima buah obor bambu setinggi satu setengah meter yang ditancapkan di atas tanah sebagai penerangan. Di tengah arena pertunjukkan dipasang kurungan besar terbuat dari bambu yang ditutup dengan kain. Setelah modernisasi, tempat pertunjukkan dipenuhi dengan lampu-lampu yang terang benderang, di tengah arena pertunjukkan tetap dipasang kurungan besar yang ditutup dengan kain beraneka warna. Melalui berbagai perubahan tersebut, seni pertunjukan sintren yang saat ini tinggal di masyarakat tidaklah wingit lagi (istilah bahasa jawa utk menyebut "mistis"), melainkan hanya sekedar hiburan rakyat sebagai wadah mempertahankan seni budaya tradisional. Selain itu, keberadaan pertunjukan seni tradisional tidak hanya akan melenggangkan eksistensi seni tersebut, karena biasanya selama pertunjukan berlangsung akan selalu diiringi dengan keberadaan pasar rakyat yang menyediakan berbagai makanan dan
barang-barang tradisional. Makanan dan barang-barang tersebut saat ini tidaklah mudah ditemukan.

https://galihbazhari.blogspot.com/2017/04/makalah-kesenian-sintren.html

F. Pergelaran Tari Sintren

Di dalam pergelaran tari ini terdapat empat bagian yaitu :
Dupan : ritual berdoa bersama untuk mendapatkan keselamatan dan terhindar dari mara bahaya selama pertunjukkan berlangsung.
Paripurna : bagian saat pawang menyiapkan seseorang untuk menjadi Sintren yang ditemani oleh empat penari lainnya sebagai dayang.
Balangan : ketika penonton melemparkan sesuatu ke arah penari Sintren.
Temohan : dimana para penari dengan membawa nampan berjalan ke arah penonton untuk meminta tanda terima kasih dengan uang seikhlasnya.
Syarat untuk dapat dijadikan penari tari ini ialah seorang gadis yang masih perawan, dikarenakan penarinya harus dalam keadaan suci. Sebelum pergelaran tari ini, sang penari diwajibkan untuk berpuasa beberapa hari supaya tubuh si penari tetap dalam keadaan suci serta menjaga tingkah laku agar tidak melakukan dosa dan berzina.
Kostum yang digunakan oleh sang penari ialah baju golek, baju tanpa lengan yang biasa dipakai dalam Tari Golek. Untuk bagian bawah memakai kain jarit dan celana cinde. Bagian kepala memakai jamang (hiasan untaian bunga melati di samping kanan dan koncer di bagian telinga). Aksesoris lainnya ialah sabuk, sampur (selendang), dan kaos kaki hitam atau putih serta kacamata hitam yang digunakan untuk penutup mata sebab penari selalu memejamkan mata saat keadaan kesurupan.
Perkembangannya pun sudah mulai hilang seiring berjalannya waktu. Tari ini sudah sangat jarang ditampilkan bahkan di daerah aslinya. Tari ini merupakan tarian yang langka dan jarang ditemukan. Oleh karena itu kita sebagai anak penerus bangsa harus menjaganya dan melestarikan tarian yang ada di Indonesia karena tarian merupakan salah satu warisan budaya Negara Indonesia.
https://ilmuseni.com/seni-pertunjukan/seni-tari/tari-sintren

G. syarat menjadi penari sintren
Untuk menjadi penari Sintren ada beberapa syarat yang harus di miliki calon penari, terutama sebagai penari Sintren harus masih gadis atau masih perawan karena penari Sintren harus dalam keadaan suci. Selain itu para penari Sintren di wajibkan berpuasa terlebih dahulu, agar tubuh si penari tetap dalam keadaan suci dan menjaga tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga dapat menyulitkan bagi roh ataun dewa yang akan masuk dalam tubuhnya.

Baju atau kostum tari sintren
Baju tari sintren
Baju keseharian, yang dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
Kain atau jarit, model busana wanita Jawa.
Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.
Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat sampur.
Sampur, berjumlah sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
Jamang, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di Jateng.
Kacamata Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan "trance", juga sebagai ciri khas kesenian sintren dan menambah daya tarik/mempercantik penampilan.
Untuk menarikan Tari Sintren menggunakan baju golek, yaitu baju tanpa lengan yang biasa digunakan dalam tari golek. Pada bagian bawah biasanya menggunakan kain jarit dan celana cinde. Untuk bagian kepala biasanya menggunakan jamang, yaitu hiasan untaian bunga melati di samping kanan dan koncer di bagian kiri telinga. Aksesoris yang di gunakan biasanya adalah sabuk, sampur, dan kaos kaki hitam/putih. Selain itu yang juga sebagai ciri khas dari penari Sintren adalah kaca mata hitam yang berfungsi sebagi penutup mata. Karena penari Sintren selalu memejamkan mata saat keadaan trance atau kesurupan, selain itu juga sebagai mempercantik penampilan.
https://www.dictio.id/t/kostum-yang-digunakan-dalam-menari-tari-sintren/52736

H. Definisi nama dan tarian sintren
Sintren, atau juga dikenal dengan nama Lais adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa, di bagian Barat dan Tengah. Dari Indramayu, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Tegal, Banyumas hingga Pekalongan.
Tarian sintren merupakan sebuah seni tari tradisional dari Cirebon yang mengandung unsur magis. Nama sintren sendiri berasal dari gabungan dua kata, yakni si dan tren. Dalam bahasa Jawa kata si merupakan sebuah ungkapan panggilan yang memiliki arti ia atau dia. Sedangkan kata tren berasal dari kata tri atau putri. Sehingga sintren memiliki arti si putri atau sang penari.
Konon tarian sintren menceritakan kisah cinta Ki Joko Bahu dengan Rantamsari yang tidak disetujui oleh Sultan Agung, Raja Mataram. Ki Joko Bahu dan Rantamsari dipisahkan dan tersiar kabar bahwa Ki Joko Bahu meninggal. Namun Rantamsari tidak percaya dan mencari kekasihnya dengan menyamar sebagai penari sintren.

I. Sejarah dibalik ritual Tarian Sintren
Setiap hal pasti punya sejarahnya sendiri, Sintren pun demikian. Sejarah yang melatarbelakangi tarian ini adalah kisah cinta antara Raden Sulandono dan Putri Sulasih yang berasal dari Desa Kalisalak. Raden Sulandono merupakan putra dari Ki Bahurekso, bupati Kendal dengan Dewi Rantamsari atau dikenal sebagai Dewi Lanjar. Hubungan asmara antara Raden Sulandono dan Sulasih tidak disetujui oleh Ki Bahurekso. Akhirnya Sulasih mengabdikan dirinya sebagai penari sedangkan Raden Sulandono pergi bertapa.
Sang roh ibu dari Raden Sulandono yaitu Dewi Lanjar sedang mengatur pertemuan Raden Sulandono dan Putri Sulasih. Ia memasukkan roh bidadari pada tubuh Sulasih dan memanggil Raden Sulandono, anaknya yang saat itu sedang bertapa. Raden Sulandono dan Putri Sulasih tetap bertemu walaupun di alam gaib hingga saat ini. Sejak saat itu masyarakat mengadakan Tarian Sintren di setiap acara-acara tradisional.

J. Pandangan tari sintren
Tarian Sintren menggambarkan kesucian sang putri atau sang penari. Masyarakat Cirebon menyakini tarian ini tak boleh ditampilkan atau dilakukan secara main-main. Seorang penari hanya boleh membawakan tarian sintren dalam keadaan suci dan bersih.

K. Pertunjukan tari sintren yaitu :
Sebelum melakukan pementasan sang penari harus melakukan puasa terlebih dahulu dan menjaga agar tidak berbuat dosa. Hal ini ditujukan agar roh tidak akan mengalami kesulitan untuk masuk dalam tubuh penari. Kesenian tari sintren pada mulanya dipentaskan pada waktu yang sunyi, di saat malam bulan purnama, karena kesenian tari ini berhubungan dengan roh halus yang masuk ke dalam sang penari.
Tari sintren ini dibawakan oleh seorang wanita yang mengenakan kostum khusus dan berkacamata hitam. Sebelum melakukan tarian ini biasanya sang penari akan masuk ke dalam sebuah kurungan dalam keadaan terikat tali tambang. Kurungan kemudian ditutup dengan kain.
Saat penari keluar dari kurungan itulah penonton dibuat takjub. Penari berhasil lolos dari ikatannya dan sudah berganti pakaian. Musik langsung menyambutnya, dan penari pun langsung berjoget. Uniknya, setiap ada penonton yang sawer, melemparkan uang ke penari, penari langsung terjatuh dan berhenti menari.
Meski terlihat aneh dan menghibur, jatuhnya penari karena sawer ini sebenarnya merupakan pesan penting yang disampaikan lewat tari sintren. Jatuhnya penari menggambarkan bahwa manusia kerap lupa diri ketika sudah bergelimang harta. Uang yang dilempar ke penari dimaknai sebagai harta atau nafsu duniawi. Penari sebagai gambaran kita atau manusia, langsung jatuh ketika terkena lemparan uang.
https://pesona.travel/keajaiban/725/tarian-sintren-tarian-mistis-dari-cirebon

Author Image

About kumpulan foto spare part motor
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment