Sunday, January 26, 2020

Sintren Jawa dan Sintren Sunda

0
Sintren Jawa dan Sintren Sunda

Sintren merupakan salah satu kesenian rakyat. Ini terindikasi dari beberapa hal, pertama, kesenian ini milik masyarakat pedesaan secara kolektif, meskipun ada tokoh pembina, namun yang memiliki adalah masyarakat. Kedua ciri kesederhanaan masih menonjol dalam setiap pertunjukkan. Ketiga, ada unsur religi atau ghaib di dalamnya. (Djoko Suryo, R.M. Soedarsono, Djoko Soekiman, 1985: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Sintren yang ada di wilayah Jawa Tengah bisa ditelusur asal-usulnya dari Cirebon (Jawa Barat). Kesenian ini sempat berkibar pada tahun 1950 hingga 1963, setelah itu sintren sempat menghilang dan muncul kembali tahun 1990-an. Penyebaran sintren tidak lepas dari kontak antar masyarakat nelayan. Sintren yang berasal dari Cirebon, kemudian dibawa ke wilayah pantai utara lainnya oleh masyarakat Cirebon yang mengadu nasib sebagai seniman. Unsur-unsur masyarakat yang sama, bahasa yang bisa dipahami, dan ketertarikan masyarakat kepada kesenian ini, mempermudan Perkembangan selanjutnya, sintren berkembang di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Cirebon, yaitu daerah Cilacap, Brebes, dan Pekalongan. (Boediono Herusatoto, 2008: 207)
Wilayah yang berdekatan antara daerah Banyumas bagian barat dengan Kabupaten Jawa Barat, memang menjadi alasan yang tepat untuk terjadinya transfer kebudayaan di antara dua daerah ini. Wilayah Cilacap, Pekalongan, dan Brebes dengan budaya Jawanya yang berkarakteristik lembut bertemu dengan budaya Sunda yang berkarakter keras, maka jadilah suatu kesenian rakyat Sintren yang berkembang dan memiliki karakter kedua budaya tersebut.
Pertunjukkan sintren biasanya diadakan ketika malam bulan purnama pada musim kemarau. Pertunjukkan diawali dengan tabuhan gamelan untuk mengundang para penonton, kemudian diikuti dengan Dupan, yaitu membakar kemenyan oleh sang dukun pawang dengan tujuan memohon perlindungan kepada sang Ghaib. Sebelum pertunjukkan dimulai, ada beberapa tahap yang dilakukan, tahap pertama, dukun mengikat wanita yang akan dijadikan sintren dengan tali. Tahap kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam kurungan besar yang didalamnya terdapat busana dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, dan sintren telah berdandan, tetapi tangan masih terikat tali, kurungan pun ditutup kembali.
Tahap ketiga, kurungan bergoyang yang menandakan sintren telah bisa ditampilkan, kurungan dibuka, sintren telah lepas dari ikatan dan siap untuk menari. Selama pertunjukkan, kemenyan terus dinyalakan oleh sang dukun. Di tengah pertunjukkan, ada balangan dan temohan. Balangan yaitu ketika dari arah penonton ada yang melempar sesuatu kepada sintren, yang menyebabkan sintren terjatuh pingsan.
Dengan menggunakan mantra dan kemenyan, sang dukun memanggil kembali arwah (disebut bidadari) untuk masuk ke dalam raga penari sintren. Pertunjukkan kemudian dilanjutkan dengan temohan, yaitu sintren membawa wadah (tampah/nampan) dan berkeliling ke penonton meminta tanda terima kasih. Untuk lebih menyemarakkan pertunjukkan, muncullah seorang penari lelaki yang disebut dengan bodor (pelawak). Pertunjukkan berlangsung selama dua jam, biasanya dimulai pada pukul 8 malam. Pertunjukkan berakhir dengan memasukkan kembali sintren ke dalam kurungan, beberapa saat kemudian kurungan dibuka, dan sang penari telah berpakaian seperti semula.
Gerak tari sintren memang tidak selembut tari serimpi (diciptakan oleh kraton Jawa) dan tidak sekeras dan setegas tari jaipongan (Jawa Barat), tari ini memiliki gerak yang lebih tegas dari tari-tari Jawa, namun lebih lembut dari tari Jawa Baratan. Gerak tari sintren ini memiliki ciri khas kebudayaan masyarakat pesisir perbatasan yang memiliki sifat “tengah-tengah”, tidak nJawani tidak pula nyundani. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun berbeda antara daerah satu dengan lainnya, di Cirebon, yang dinyanyikan dalam pertunjukkan ini adalah lagu Sunda, sedangkan di daerah pesisir Jawa Tengah (Cilacap, Pekalongan, dan Brebes) lagu-lagunya ialah lagu dolanan Jawa, seperti Ilir-ilir, cublak-cublak suweng, padang rembulan, unthuluwuk, pring reketek. Namun, lagu-lagu sunda juga tetap dilantunkan dalam pertunjukkan sintren Jawa, antara lain Cing Cangkeling, Pacublek-cublek uang, Slep dur, dan Pacici-cici Putrihttps://galihbazhari.blogspot.com/2017/04/makalah-kesenian-sintren.html
Author Image

About Dicky ully anfika
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment