Sejarah Sintren
Sintren merupakan kesenian tradisional rakyat di pesisir pulau Jawa bagian utara. Kesenian rakyat ini populer di kalangan masyarakat, karena sintren mempunyai keistimewaan yaitu menari dalam keadaan kesurupan(trance). Prilaku tranceyang terjadi pada sintren merupakan ciri khas dari kesenian ini. Popularitas kesenian ini mulai dari Majalengka, Kuningan, Indramayu, Cirebon. Bahkan sudah berkembang lebih jauh lagi sampai Serang, Pekalongan, dan Pemalang.Keberadaan sintren menimbulkan berbagai praduga tentang asal usul dan perkembangannya. Muncul dugaan di kalangan masyarakat bahwa kesenian sintren merupakan sisa-sisa peninggalan masa pra Hindu di pulau Jawa. Ada pula dugaan bahwa sudah ada ketika pendudukan kolonial di pulau Jawa.Bagi masyarakat pesisir yang sebagian besar mata pencahariannya dari hasil menangkap udang, pertunjukan sintren merupakan salah satu hiburan tatkala pulang dari melaut. Kesenian ini memiliki keunikan, karena mengandung unsur-unsur kekuatan yang diluar nalar manusia biasa atau magis di dalam pertunjukannya sehingga menjadi daya tarik utama dan mampu bertahan hingga kini.Kesenian sintren pada masa lampau bertujuan untuk sarana ritual yang bersifat sakral. Selain sebagai sarana ritual, sintren juga dimanfaatkan sebagai hiburan seperti upacara besar dan pernikahan. Berbeda dengan masa lampau, yaitu masa kesenian sebagai sarana pemujaan kepada roh-roh gaib atau untuk kepentingan ritual, perkembangan sintren masa kini sudah mengarah pada kebutuhan komersialdan menjadi seni tontonan.Walaupun kondisi kesenian tradisi kerakyatan Cirebon sekarang ini telah ‘dikepung’ oleh kesenian modern, namun masih banyak peminat dan pengamat yang tetap setia pada seni tradisi.Saat ini bermunculan grup-grup sintren yang baru di kota Cirebon tahun 2000-an yang memunculkan persaingan antara grup satu dengan grup yang lain. Persaingan ini muncul karena memperebutkan tanggapan dari penanggap tari sintren dan membesarkan nama grupnya sendiri tanpa mementingkan sejarah atau segi pertunjukannya. Kondisi saat iniberdampaknya pada perubahan dari cara pementasan grup –grup tari sintren yang baru. Perubahan ini terdapat dari segi pertunjukan dan alat musik yang dimainkan oleh grup tari sintren yang baru, yaitu alat musik memakai alat organ atau alat musik dangdutan dan segi pertunjukan lebih meminimkan pemainnya. Akibatnya, orisinalitas dari pertunjukan grup tari sintren pun sedikit demi sedikit menghilang.Nilai-nilai yang terkandungdalam kesenian sintren yaitu nilai estetis, nilai sosial, dan nilai ekonomi.
Kesenian sintren juga berasal dari kehidupan rakyat pesisiran yang selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya, tradisi yang muncul berasal dari kepercayaan terhadap nenek moyang atau bisa juga bermula dari kebiasaan dan permainan rakyat yang kemudian menjadi budaya warisan luhur. Salah satu tradisi rakyat yang kemudian menjadi warisan budaya luhur ialah sintren. Kesenian sintren terdapat di sepanjang pesisir utara Jawa Tengah, yaitu di wilayah Cilacap, Brebes, Pekalongan dan Jawa Barat bagian timur, yaitu Cirebon, Ciamis, dan Indramayu. Terdapat beberapa pendapat tentang asal mula sintren, tetapi ada satu cerita yang beredar di masyarakat tentang awal mula kesenian ini, yaitu legenda Sulasih dan Sulandono.
Sulandono adalah putra Bupati dari Mataram bernama Bahurekso dengan Rr. Ramtamsari, Sulasih adalah seorang gadis desa. Mereka berdua bertemu dan kemudian terlibatlah dalam hubungan percintaan. Hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua Sulandono. Sulandono kemudian diperintah ibunya untuk bertapa dan diberikan selembar kain sebagai sarana kelak untuk bertemu Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih kemudian menjadi seorang penari pada setiap acara bersih desa yang diadakan, sebagai syarat bertemu Sulandono. Tepat pada saat bulan purnama, diadakan acara bersih desa, pada saat itulah Sulasih menari, Sulandono yang mengetahui hal ini kemudian meninggalkan pertapaannya secara diam-diam untuk bertemu dengan Sulasih dengan membawa kain yang diberikan oleh ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit dari Rr. Ramtamsari sehingga mengalami kesurupan dan saat itu pula Sulandono melemparkan kain tersebut sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih kemasukan roh inilah yang disebut dengan “sintren” dan pada saat Sulandono melemparkan kain disebut dengan “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki Sulandono, maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan mereka berdua dapat mewujudkan cita-cita dan cinta mereka. Kondisi Sulasih yang masih perawan, kemungkinan yang menjadi dasar utama mengapa seorang penari sintren harus perawan.https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/582/jbptunikompp-gdl-yokiherman-29080-7-unikom_y-i.pdf